Berita TerkiniNasionalRagamRegional

Meningkatnya Perilaku Seksual, DPRD Kota Bandung Perkuat Perda Baru

Bandung, wartaaktual.com – Panitia Khusus (Pansus) 14 DPRD Kota Bandung tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Pansus ini telah resmi dibentuk dan mulai melakukan sejumlah pembahasan awal.

“Urgensi pembentukan peraturan daerah ini, pembentukan Perda ini didasarkan keadaan yang memprihatinkan karena meningkatnya perilaku seksual berisiko dan penyimpangan seksual di masyarakat. Perda ini menjadi instrumen hukum daerah untuk mencegah, mengendalikan, dan menanggulangi dampak sosial serta kesehatan akibat perilaku tersebut,”kata Anggota Pansus 14 DPRD Kota Bandung, drg. Susi Sulastri.

Untuk itu kata dia, perlu adanya regulasi khusus mengenai perilaku seksual berisiko dan penyimpangan seksual, karena perilaku seksual berisiko telah menimbulkan masalah publik dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS, kekerasan seksual, kehamilan tidak diinginkan, dan degradasi moral.

Sehingga dengan adanya regulasi khusus ini, pemerintah daerah memiliki dasar hukum operasional dalam melakukan intervensi dan perlindungan kepada warganya.

“Dampak sosial dan kesehatan yang diharapkan dapat dicegah dengan adanya peraturan ini tentu kita ingin mencegah penyakit menular seksual (IMS, HIV/AIDS), kekerasan dan eksploitasi seksual, gangguan psikologis bagi korban dan degradasi moral di masyarakat,”ujarnya.

Lebih jauh dirinya mengatakan, perilaku seksual berisiko dan penyimpangan seksual dalam konteks hukum daerah adalah aktivitas seksual yang melanggar norma, seperti norma agama, sosial, dan menimbulkan risiko kesehatan, psikologis, dan sosial.

Menurutnya, ada standar nasional atau internasional yang dijadikan acuan, salah satunya undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, UUD 1945 dan klasifikasi WHO/ICD-10 untuk perilaku seksual berisiko.

“Supaya tidak terjadi bias atau kesalahpahaman definisi diatur berdasarkan pendekatan hukum, medis, dan sosial serta mengacu pada ICD-10 (kode Z72.51) untuk perilaku seksual berisiko tinggi. Pendekatan ini mencegah interpretasi yang subjektif atau diskriminatif,”kata Susi.

Adapun strategi yang diusulkan untuk pencegahan dan pengendaliannya adalah, salah satunya menyusun strategi lintas sektor (kesehatan, pendidikan, sosial, dan ketertiban umum), penyuluhan ke masyarakat, edukasi, dan konseling.

Langkah-langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di antaranya kampanye edukatif di sekolah-sekolah atau dengan sosialisasi tentang bahaya perilaku seksual berisiko.

Program pendidikan atau pelatihan khusus yang direncanakan salah satunya kita bisa membentuk program edukasi reproduksi sehat di sekolah, pelatihan petugas kesehatan dan psikolog di Puskesmas, serta penyuluhan di masyarakat,” tuturnya.

Untuk itu, kolaborasi semua pihak, termasuk pemangku kepentingan, pemerintah daerah, stakeholder dan juga masyarakat diharapkan dapat mencegah prilaku tersebut.

Menurutnya, jika kolaborasi ini berjalan dengan baik, makan rencana pembentukan Komisi Pencegahan dan Pengendalian lintas sektor akan segera terwujud.

Sehingga peran serta masyarakat akan terfasilitasi melalui forum edukasi, pelaporan, dan partisipasi langsung dalam pengawasan serta pencegahan perilaku berisiko.

“Mekanisme pemantauan dan evaluasinya nanti dilakukan oleh komisi pencegahan dan pengendalian, dengan koordinasi lintas dinas dan Satpol PP. Pelaporan dan evaluasi akan dilakukan secara berkala untuk pencegahan dan monev dari implementasi Perda ini,”terangnya.

Susi melanjutkan, Perda ini nantinya memungkinkan sanksi administratif dan pidana, sesuai peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sanksi diberikan pada pelaku yang menyebarkan, mempromosikan, atau melakukan perilaku seksual menyimpang yang merugikan pihak lain.

“Mekanisme penegakan hukum yang adil dan efektif nanti akan dilaksanakan atau dilakukan oleh Satpol PP, Kepolisian, dan Komisi Pencegahan. Sementara mengenai upaya rehabilitasi bagi pelanggar nanti akan kita upayakan dengan rehabilitasi medis, psikologis, dan sosial, termasuk konseling di fasilitas kesehatan bagi pelanggar dan korban untuk memulihkan kondisi fisik dan mentalnya,”tutupnya. ***

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button